Prinsip Good Corporate
Governance (GCG)
Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan
pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability,
Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan
menjadi TARIF.
Penjabarannya sebagai berikut :
1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai
keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut
untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap
stakeholders-nya.
2. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah
kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen
perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada
kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara
pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah
kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah
pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan
lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat
dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan
menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga
mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada
stakeholders-lainnya.
4. Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan
dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan
atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan
yang berlaku.
5. Fairness(kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil
dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat
memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam
kepentingan dalam perusahaan.
B. 10 Prinsip Good Governance
1.
AKUNTABILITAS: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan
dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2.
PENGAWASAN : Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas.
3.
DAYA TANGGAP: Meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan
terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4.
PROFESIONALISME: Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya
terjangkau.
5.
EFISIENSI
& EFEKTIVITAS: Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal & bertanggung
jawab.
6.
TRANSPARANSI: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah
dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam
memperoleh informasi.
7.
KESETARAAN: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8.
WAWASAN KE
DEPAN:
Membangun daerah berdasarkan visi & strategis yang jelas &
mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga
merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
9.
PARTISIPASI: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut
kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung.
10. PENEGAKAN HUKUM: Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak
tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Penerapan
GCG di Perbankan Syariah
Corporate
governance yang dalam bahasa indonesia memiliki arti ” tata kelola
perusahaan” ini memiliki makna sebagai sebuah rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan,
serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola ini menyangkut
hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder), manajemen,
dewan direksi dan pihak terkait lainnya. Pada tanggal 30 April 2010 ini Bank
Indonesia melalui Surat Edarannya memberikan penegasan terhadap PBI No.
11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Melalui PBI ini diatur kegiatan-kegiatan
yang menyangkut dengan check and balance yang harus dilakukan bank dan juga
menghindari conflict of interest dalam melaksanakan tugas. Untuk
meningkatkan kulaitas pelaksanaan GCG Bank diwajibkan untuk melakukan self
assessment secara komprehensif agar kekurangan bisa segera di deteksi. Dan
pada akhirnya Bank akan menyerahkan Laporan penerapan GCG ini kepada stakeholder
sebagai sebuah bentuk transparansi yang dilakukan oleh manajemen. Pelaksanaan Good Corporate Government
pada industri perbankan Syariah harus berlandaskan kepada lima prinsip dasar.
Pertama, transparansi (transparancy), yaitu keterbukaan dalam
mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu
kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organisasi bank sehingga
pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility)
yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, profesional (proffesional)
yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak obyektif, dan bebas dari
pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen
yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Kelima, kewajaran (fairness)
yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders berdasarkan
perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam dunia bisnis
dan beberapa paradigma pemikiran pelaku bisnis, ada beberapa kesimpulan
mengenai prinsip-prinsip mendasar yang harus dipegang teguh pada penerapan GCG,
yaitu ; Keadilan (fairness), Transparansi (transparancy), akuntabilitas
(accountability), Tanggung jawab (responsbility), moralitas (morality),
komitmen (commitment) dan kemandirian. Prinsip-prinsip inilah yang pada
akhirnya diintisarikan menjadi sebuah himbauan yang tersirat dalam PBI No. 11
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dalam ajaran Islam, point-point tersebut
diatas menjadi prinsip penting dalam aktivitas dan kehidupan seorang muslim.
Islam sangat intens mengajarkan untuk diterapkannya prinsip ’adalah
(keadilan), tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), akhlaq
(moral), shiddiq (kejujuran), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah
(kecerdasan), tabligh (transparansi, keterbukaan), hurriyah
(independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ihsan (profesional),
wasathan (kewajaran), ghirah (militansi syari’ah), idarah
(pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), ijabiyah
(berfikir positif), raqabah (pengawasan), qira’ah dan ishlah
(organisasi yang terus belajar dan selalu melakukan perbaikan). Berdasarkan uraian
di atas dapat dipastikan bahwa Islam jauh mendahului kelahiran GCG (Good
Coorporate Governance) yang menjadi acuan bagi tata kelola perusahaan yang
baik di dunia. Prinsip-prinsip itu diharapkan dapat menjaga pengelolaan
institusi ekonomi dan keuangan syari’ah secara profesional dan menjaga
interaksi ekonomi, bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan
dan best practice yang berlaku. Selain mengatur tata kelola secara
mendasar, PBI ini juga mengatur tentang keterkaitan dan tugas serta tanggung
jawab yang harus diemban oleh para punggawa syariah compliance, yaitu Dewan
Pengawas Syariah. Tugas dan tanggung jawab DPS dilakukan dengan cara, antara
lain ; (a) melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru Bank
terkait dengan pemenuhan prinsip syariah dan (b) melakukan pengawasan terhadap
kegiatan Bank terkait dengan pemenuhan prinsip syariah. Dua hal ini menjadi sebuah point penting dalam penerapan
GCG pada Perbankan Syariah, dari sisi manajemen dan tata kelola perusahaan
lainnya, semua telah mengacu kepada rule of the games yang telah ada,
dan telah diatur dengan kebijakan intern dan juga PBI, sedangkan untuk DPS, hal
ini masih baru dan belum terlalu maksimal pengaturannya. Dewan Pengawas akan sangat berperan dalam menjaga syariah
compliance yang berkaitan erat dengan pengelolaan perusahaan dari sisi
kebenaran syariah, dan hal ini akan menjadi sangat penting ketika perusahaan
akan mengeluarkan produk-produk perbankannya. Sehingga bisa kita simpulkan,
selain tata kelola yang baik dari sisi manajemen perusahaan, tata kelola
pengawasan dan pengembangan yang dilakukan oleh DPS menjadi tolak ukur mendasar
dalam kesuksesan penerapan GCG pada Bank Syariah.
Penerapan GCG dalam BUMN
Penerapan tata kelola perusahaan
yang baik Good Corporate Governance (GCG) merupakan keharusan dan landasan
penting bagi keberhasilan mewujudkan visi dan misi serta kelangsungan usaha
perusahaan. Penerapan GCG saat ini tidak hanya sebagai pemenuhan kewajiban
saja, namun telah menjadi kebutuhan dalam menjalankan kegiatan bisnis
perusahaan dalam rangka menjaga pertumbuhan usaha secara berkelanjutan,
meningkatkan nilai perusahaan dan sebagai upaya agar perusahaan dalam
persaingan. Sebagai salah satu BUMN, Perum BULOG senantiasa memenuhi
kaidah-kaidah serta aturan GCG yang ditetapkan oleh Pemerintah Cq Kementerian
BUMN sebagaimana diamanatkan didalam Surat Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor
: Kep-117/MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 sebagaimana telah diubah menjadi
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : Per-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)
pada Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan peraturan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan pedoman yang lebih rinci bagi perusahaan dalam menerapkan GCG berdasarkan
prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kemandirian serta
kewajaran. Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) di Perum BULOG
terus mengalami peningkatan dan penyempurnaan sejalan dengan perkembangan dan
tuntutan bisnis serta keinginan Perum BULOG untuk memenuhi misi perusahaan
yaitu terwujudnya SDM professional, jujur, amanah dan menerapkan
prinsip-prinsip GCG di bidang pangan. Penerapan prinsip-prinsip GCG telah
diwujudkan oleh Perusahaan diantaranya dengan dibentuknya fungsi pembinaan GCG
dibawah Sekretaris Perusahaan yang secara khusus menangani dan memantau
kegiatan penerapan GCG di Perum BULOG. Perusahaan telah menerbitkan
dokumen-dokumen pendukung dalam penerapan GCG seperti Pedoman GCG dan Pedoman
Perilaku (Code of Conduct). Dewan Pengawas juga telah memiliki organ pendukung
yaitu Komite-komite Dewan Pengawas yang berperan dalam membantu meningkatkan
efektivitas pelaksaaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan kesadaran serta wawasan segenap pegawai
dan jajaran Perum BULOG tentang GCG, perusahaan melakukan kegiatan sosialisasi
pelaksanaan GCG di lingkungan internal perusahaan. Kegiatan sosialisasi telah
dilaksanakan secara berkesinambungan sejak tahun 2004 baik dalam bentuk
sosialisasi GCG untuk pejabat Perum BULOG dengan melibatkan pihak luar sebagai
pembicara/narasumber; melakukan kunjungan ke Divre-Divre untuk
mensosialisasikan pelaksanaan GCG; penyampaian materi GCG dan Pedoman Perilaku
pada diklat-diklat internal Perum BULOG serta sosialisasi oleh manajemen rutin
yang dilaksanakan pada berbagai kesempatan rapat-rapat internal.
Penerapan GCG
dalam Pemerintahan / Institusi Pemerintah
Pengadaan barang dan jasa di instansi Pemerintah memiliki peluang yang besar
untuk terjadinya penyelewengan. Penyelewengan dapat berupa menaikkan nilai
proyek dari nilai yang sebenarnya, tidak melakukan prosedur pelelangan yang
ditetapkan oleh peraturan, dan pengadaan barang/jasa fiktif. Banyak kasus pengadaan barang/jasa yang ada sekarang
ini, akhirnya menyeret para pemegang kekuasaan pemerintahan termasuk di
dalamnya para Menteri menjadi terdakwa dan juga menjadi pesakitan masuk ke
dalam penjara. Dan berita yang paling up to date adalah kasus SISMINBAKUM di
Kementerian Hukum dan HAM, dimana mantan Menteri Hukum dan HAM, Yuzril Ihza
Mahendra telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka. Berdasarkan
uraian diatas maka focus penulisan adalah bagaimana penerapan Good Corporate
Governance (GCG) Dalam Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah. Dengan
adanya GCG ini dapat mengurangi penyelewengan pengadaan barang dan jasa di
BUMN, BUMD, PEMDA dan juga Kementerian dan Lembaga.
PENERAPAN
PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGADAAN BARANG/JASA DI INSTANSI
PEMERINTAH
Menurut World Bank, pengertian Good Corporate Governance (GCG) adalah
kumpulan kaidah hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang
dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien,
menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi pemegang
saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. (Hassel Nogi S Tangkilisan,
Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, Balaiurang & Co.
Yogyakarta, 2003, hal.12). Lima tujuan utama prinsip Good Corporate Governance
yaitu (Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya
dalam Konteks Indonesia, PT Ray Indonesia, Jakarta, 2005, hal 5) melindungi hak
dan kepentingan pemegang saham, melindungi hak dan kepentingan para the
stakeholders non pemegang saham, meningkatkan effisiensi dan efektifitas kerja
Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan serta
meningkatkan hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.
Penerapan Good Corporate Governance bukan semata-mata mencakup relasi dalam
pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar,
pemerintah dan masyarakat sipil. Gagasan kesejajaran ini mengandung arti akan
pentingnya redefinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola
sumberdaya ekonomi, politik dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat. Para
penganjur pendekatan ini membayangkan munculnya hubungan yang sinergis antara
ketiga institusi sehingga terwujud penyelenggaraan negara yang bersih,
responsive, bertanggung jawab, semaraknya kehidupan masyarakat sipil serta
kehidupan pasar/bisnis yang kompetitif dan bertanggung jawab. Salah satu agenda yang harus dilaksanakan dalam
pencapaian Good Corporate Governance adalah pemberantasan Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN). KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di
Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan
cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya
pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan
pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak
publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi,
hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan
bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Salah satu kegiatan
pemerintah dalam pelaksanaan APBN yang diindikasikan adanya tindakan KKN adalah
pada tahap pengadaan barang dan jasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pengadaan
barang/jasa pemerintah di Indonesia masih menduduki peran yang sangat penting
untuk menggerakkan aktivitas ekonomi. Dikarenakan jumlah uang yang berputar
cukup besar, keterlibatan dunia usaha dan birokrat publik juga sangat besar.
Oleh karena itu, Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat menjadi sarana yang
cukup memadai untuk memperbaiki perilaku dunia usaha dan birokrat publik secara
menyeluruh, terutama sebagai alat untuk memulai penyelenggaraan pemerintah yang
baik (good governance). Selama ini Pengadaan barang/jasa pemerintah masih
menghadapi kendala yang sangat serius. Tata cara Pengadaan barang/jasa
pemerintah hanya dijalankan untuk memenuhi persyaratan formal tanpa memahami
latar belakang, essensi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan. Karena itu
hasilnya dapat kita saksikan bersama. Hampir seluruh hasil dari proses
Pengadaan barang/jasa pemerintah menghasilkan harga yang lebih tinggi dari
harga pasar dan sering dengan kualitas yang kurang memadai serta dengan lingkup
kerja yang kurang dari yang dipersyaratkan.
Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merebak dan merajalela di
bidang Pengadaan barang/jasa pemerintah. Kerugian yang diakibatkan oleh praktek
tersebut juga sangat memberatkan keuangan Negara karena yang menikmati
kebocoran tersebut adalah individu atau orang tertentu diatas kerugian dan
kesengsaraan masyarakat luas. Penyempurnaan aturan perundang-undangan,
pelatihan pemahaman kepada seluruh pengelola Pengadaan barang/jasa pemerintah
dan perbaikan proses Pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menguerangi
kebocoran anggaran yang menjadi aspek penting dalam reformasi keuangan Negara
yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini. Hakekatnya esensi, tujuan dan
maksud Pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut dapat dilaksanakan
sebaik-baiknya maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan pihak penyedia
harus selalu berpedoman kepada filosofi dasar Pengadaan barang/jasa pemerintah,
tunduk kepada etika dan norma Pengadaan barang/jasa pemerintah yang berlaku,
mengikuti dan memahami prinsip-prinsip dasar Pengadaan barang/jasa pemerintah,
serta menjalankan metoda dan proses Pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah
berlaku.
Sesuai dengan Prisnisp-prinsip dasar Pengadaan barang/jasa pemerintah yang
tercantum dalam Keppres Nomor 80 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan Pengadaan
barang/jasa pemerintah wajib menerapkan prinsip-prinsip :
1. Efisien, berarti Pengadaan barang/jasa pemerintah
harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Efektif berarti Pengadaan barang/jasa pemerintah harus
sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
3. Terbuka dan bersaing berarti Pengadaan barang/jasa
pemerintah harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan
dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang
setara dan memenuhi syarat/criteria tertentu berdasarkan kektentuan dan
prosedur yang jelas dan transparan.
4. Transparan berarti semua ketentuan dan informasi
mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk syarat teknis administrasi
pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia
barang/jasa, sifatnya terbuaka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat
serta bagi masyarakat luas pada umumnya.
5. Adil/tidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan
yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk
memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan dan atau alas an apapun.
6. Akuntabel berarti harus mencapai sasaran baik fisik,
keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku
dalam pengadaan barang/jasa.
Sedangkan etika
dalam Pengadaan barang/jasa pemerintah terdapat dalam pasal 5 Keppres Nomor 80
tahun 2003 yaitu :
1. Melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa
tanggunjawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan
Pengadaan barang/jasa.
2. Bekerja secara professional dan mandiri atas dasar
kejujuran serta menjaga kerahasian dokumen Pengadaan barang/jasa yang
seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan
barang/jasa.
3. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak
langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat.
4. Menerima dan bertanggunjawab atas segala keputusan yang
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak.
5. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan
kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam
proses Pengadaan barang/jasa.
6. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan
kebocoran keuangan Negara dalam Pengadaan barang/jasa.
7. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan
atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain
yang secara langsung tidak langsung merugikan keuangan Negara.
8. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan
untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapun yang
diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan Pengadaan barang/jasa.
Penerapan Good
Corporate Governance agar dapat mengurangi penyimpangan dalam pengadaan barang
dan jasa di instansi Pemerintah maka pemanfaatan teknologi informasi
(e-government, e-procurement, information technology) adalah sesuatu yang mutlak, sehingga
calo-calo/preman-preman proyek pemerintah bisa dihilangkan dan juga dapat
menghemat biaya administrasi. Instansi Pemerintah sebagai pihak penyelenggara
Pengadaan barang/jasa Pemerintah harus berkomitmen harus selalu mendukung
pemerintahan yang bersih (clean government) melalui penandatanganan pakta
integritas. Dalam Pasal 1 Keppres No.80/2003 mengenai pedoman pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa pemerintah disebutkan bahwa yang dimaksud Pakta
Integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna
barang/jasa/panitia pengadaan/pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang
berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan KKN dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa. Pakta Integritas merupakan suatu bentuk kesepakatan tertulis
mengenai tranparansi dan pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa
barang publik melalui dokumen-dokumen yang terkait, yang ditandatangani kedua
belah pihak, baik sektor publik maupun penawar dari pihak swasta.
Pelaksanaan
dari Pakta tersebut dipantau dan diawasi baik oleh organisasi masyarakat madani
maupun oleh suatu badan independen dari pemerintah atau swasta yang dibentuk
untuk melaksanakan tugas tersebut atau yang memang sudah ada dan tidak terkait
dalam proses pengadaan barang dan jasa itu. Komponen penting lainnya dalam
pakta ini adalah mekanisme resolusi konflik melalui arbitrasi dan sejumlah
sanksi yang sebelumnya telah diumumkan atas pelanggaran terhadap peraturan yang
telah disepakati yang berlaku bagi kedua belah pihak. Hal yang paling penting
dalam penegakan hukum dalam proses pengadaan barang dan jasa adala h adanya
ketegasan, kejelasan dan keadilan. Selama ini kita lihat dilapangan, hanya
pejabat pengadaan dan pejabat pengelolaan yang dihimbau untuk menegakkan
peraturan pengadaan barang dan jasa. Namun disisi lain pihak pengusaha dan
rekanan kurang ditegaskan dan penegakkan peraturan tersebut. Pada saat proses
pelelangan sering ditemukan penawaran yang tidak wajar. Bila rekanan tersebut
akhirnya ditetapkan jadi pemenang lelang, kegiatan tsb tdk dapat dikerjakan
dengan baik sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan dengan alas an dananya
tidak mencukupi. Atau pekerjaan ditelantarkan dengan alas an yang tidak jelas.
Sumber :
Komentar:
Penerapan GCG sangat baik karena mengedepankan aspek transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, indepandency dan fairness. Semua aspek tersebut sangat berguna
untuk para stake holder serta setidaknya mampu mengurangi penyimpangan dalam
pengadaan barang dan jasa jika konteksnya di instansi Pemerintah. Dengan itu
semua saya pikir, jika dikaitkan dengan etika bisnis pasti setidaknya mempunyai
prinsip integritas maupun moral yang mulai hilang dari sendi-sendi berkehidupan
yang baik.